SATU
DEKADE SUDAH orde reformasi bergulir di tanah air ini. Paling tidak ada
tiga permasalahan yang menjadi issue sentral dalam laju orde yang konon
merupakan era solusi permasalahan Orde Baru: Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN). Namun sayang, dalam hitungan 10 tahunan pertama ini
penyelesain korupsi, kolusi dan nepotisme boleh dikatakan biasa-biasa
saja. Dan, catatan penuntasan kasus KKN dari tahun per tahunnya masih
sebatas hitungan pergantian angka saja, belum menjadi sebuah nama untuk
diingat.
Awal Tahun 2008 ada dua hal peristiwa penting buat
Indonesia berkenaan dengan isu korupsi: pertama, Konferensi Anti-korupsi
Sedunia di Bali, dan kedua meninggalnya mantan Presiden Soeharto,
tersangka pelaku korupsi utama di negeri ini. Pertemuan antarpejabat
tinggi sedunia di Bali oleh United Nations Convention against Corruption
itu dilangsungkan tak lama berselang setelah Konferensi PBB mengenai
Perubahan Iklim (United Nation for Climate Change Conference-UNFCCC)
pada tanggal 3-14 Desember 2007. Konvensi PBB Melawan Korupsi atau UNCAC
di Nusa Dua, Bali, 28 Januari-1 Februari 2008 agenda utamanya adalah
membangun cetak biru (blueprint) integritas dunia sebagai basis pijakan
melawan korupsi.
Pertemuan untuk kedua kali para pemimpin dunia
itu rencananya akan dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, presiden Republik Indonesia selaku tuan rumah urung membuka
konferensi itu, ia lebih memilih melayat kematian mantan Presiden
Soeharto. Ketidakhadiran pemimpin tertinggi di negeri ini di konferensi
itu juga berbarengan dengan ketidakhadiran banyak pejabat tertinggi dari
negara lain, khususnya dari Afrika. Sebagai gantinya, Direktur
Eksekutif Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kriminal (UNODC) Antonio Maria
Costa membuka konferensi itu. Dalam salah satu bagian sambutannya ia
mengeluhkan banyaknya perwakilan negara anggota yang tidak hadir. ”Saya
prihatin dengan ketidakhadiran hampir separuh negara pihak pada UNCAC
kali ini. Mengapa banyak negara yang absen, terutama dari Afrika?” kata
Costa yang dikutip KOMPAS, 4 Februari 2008.
Seolah
mengisyaratkan, banyaknya ketidakhadiran perwakilan negara peserta
sebagai ketidakseriusan pemerintah (penguasa) melawan korupsi.
Antusiasme negara peserta konferensi anti-korupsi ini memang lebih
sedikit dibandingkan dengan konferensi pemanasan global di tempat yang
sama. Padahal dampak yang diakibatkan korupsi juga sedahsyat masalah
lingkungan hidup itu. Sebuah gambaran tentang korupsi dan kerusakan alam
yang ada dalam sebuah novel Badak Terakhir (Gagas Media dan Pustaka
Utan Kayu, 2005), ini sangat menarik untuk dijadikan bahan belajar.
Novel Hario Kecik, mantan Pangdam IX Mulawarman dengan pangkat terakhir
brigadir jenderal (TNI) ini sarat kritik terhadap penggundulan hutan,
yang tidak hanya melibatkan pejabat tinggi pemerintah tapi juga pejabat
militer, dengan “ijin” pemerintah pusat. Melalui novel ini pembaca
diajak mengeksplorasi keganasan dan sekaligus keindahan alam Kalimantan.
Saat-saat awal bagian hutan hujan tropis di Indonesia, paru-paru dunia,
itu mulai digunduli secara semana-mana. Kita juga diajak berpetualang
untuk menemuai pengetahuan dan sekaligus kearifan lokal masyarakat Dayak
di rimba raya Kalimantan, serta bagaimana konspirasi para penguasa
berkorupsi & berkolusi serta merusak lingkungan. Dari novel ini kita
mendapatkan penjelasan bahwa korupsi adalah tindakan kriminal, yang
biasanya dilakukan oleh para penguasa, yang merugikan manusia dan
lingkungan hidup.
Dari segi bahasa, "korupsi" berasal dari bahasa
Inggris, corrupt, yakni perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com
yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol.
Secara hukum pengertian "korupsi" adalah tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang tindak pidana korupsi. Masih banyak pengertian lain tentang
korupsi baik menurut pakar atau lembaga yang kompeten, termasuk dari
Ormas Islam.
Dua buku yang diterbitkan NU dengan judul ‘NU
Melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fikih’ dan Muhammadiyah dengan judul
‘Fikih Anti Korupsi: Perspektif Ulama Muhammadiyah’) memiliki ta’rif
atau pengertian korupsi yang sama. Kedua buku ini memberi definisi
korupsi sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk kepentingan sendiri.
Hal ini sangat dimungkinkan, karena keduanya mengambil referensi yang
sama (Kamus Inggris-Indonesia, Oxford, Kamus Besar Bahasa Indonesia), UU
No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintah yang Bersih dan Bebas
KKN, dan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [UU
Antikorupsi]). Namun dalam pandangan Islam tentang korupsi dalam kedua
buku resmi terbitan Ormas terbesar itu ada perbedaan. NU lebih
menitikberatkan pada asal-usul manusia sebagai seorang khalifah yang
diberi amanah untuk mengatur kehidupan dunia agar menjadi lebih baik (h.
58). Tentang rizki dan harta benda yang diperoleh dari hasil korupsi,
dengan berpatokan pada kaidah fiqih (ma haruma akhdhuhu, haruma I’tho
uhu), NU menekankan bahwa uang hasil korupsi adalah haram dan tidak akan
berubah menjadi halal, meskipun uang itu telah dizakati, dipakai untuk
menyantuni anak yatim, diberikan sumbangan pada masjid, madrasah dan
pesantren, maupun digunakan untuk ibadah umrah dan haji (h 121).
Sementara itu, Muhammadiyah memberi tekanan pada prinsip dasar Islam
dalam tatanan kehidupan sosial. Untuk menciptakan masyarakat yang
harmonis dan beradab, manusia harus berperilaku amanah, bertindak adil,
dan mau melakukan amar makruf nahi munkar (h. 39 - 48).
Walau
terdapat banyak pengertian tentang korupsi, termasuk penyebabnya,
modusnya dan ciri-cirinya, yang pasti korupsi selalu membawa dampak
negatif. Menurut Masyarakat Transparansi Indonesia
(www.transparansi.or.id) korupsi sistemik membawa dampak negatif
terhadap proses demokratisasi dan pembangunan yang berkelanjutan, yakni:
1. Korupsi mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi
kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang.
2. Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik,
membuat tiadanya akuntabilitas publik, dan menafikan the rule of law.
Hukum dan birokrasi hanya melayani kepada kekuasaaan dan pemilik modal.
3. Korupsi meniadakan sistim promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena hubungan patron-client dan nepotisme.
4. Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum
bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga
mengganggu pembangunan yang berkelanjutan.
5. Korupsi
mengakibatkan kolapsnya sistem ekonomi karena produk yang tidak
kompetitif dan penumpukan beban hutang luar negeri.
Korupsi yang sistemik juga menyebabkan:
1. Biaya ekonomi tinggi oleh penyimpangan insentif;
2. Biaya politik oleh penjarahan atau penggangsiran terhadap suatu lembaga publik;
3. Biaya sosial oleh pembagian kesejahteraan dan pembagian kekuasaan yang tidak semestinya.
Tatanan
birokrasi, tatanan masyarakat dan pengelolaan lingkungan hidup yang
parah, hasil peninggalan Orde Baru yang korup, telah melahirkan gagasan
di kalangan masyarakat sipil: tata pemerintahan yang baik (good
governance) sebagai solusi alternatifnya. Bak gayung bersambut, istilah
ini semakin populer di masyarakat—sepopuler dengan kata reformasi,
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Secara sederhana prinsip-prinsip tata
pemerintahan yang baik meliputi: 1. Partisipasi Masyarakat; 2. Tegaknya
Supremasi Hukum; 3. Transparansi; 4. Peduli pada pemangku kepentingan
(stakeholder); 5. Berorientasi pada Konsensus, 6. Kesetaraan; 7.
Efektifitas dan Efisiensi; 8. Akuntabilitas; 9. Visi Strategis
Tata
kelola pemerintahan yang buruk dalam masa Orde Baru dan pemerintah
setelahnya telah membuat Indonesia masuk ke dalam daftar negara paling
korup di dunia untuk beberapa lama. Pada saat yang sama, dalam upaya
untuk mencari penyebab terjadinya krisis, masalah tata kelola
pemerintahan menjadi sesuatu yang mendesak. Catatan Negara terkorup ini
dapat dilihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2007. seperti yang
dirilis Transparency International (TI) IPK Tahun 2007 menunjukkan
peringkat korupsi Indonesia merosot. Indonesia berada di urutan ke- 143
dengan skor 2,3 atau lebih buruk dibandingkan 2006 yang berada pada
peringkat ke-130 dengan skor 2,4. IPK merupakan peringkat korupsi yang
diamati dari pelaku usaha dan analis tiap negara.Survei IPK mencakup 180
negara dan diukur dengan skor antara 0 hingga 10.Skor 0 merupakan
indikator paling korup,sedangkan 10 paling bersih. Dalam daftar IPK
2007, peringkat IPK terburuk diterima Somalia dan Myanmar dengan skor
1,4. (SINDO, 27 September 2007).
Kemerosotan Indeks ini menurut
Transparency International Indonesia (TII), dikarenakan tidak seriusnya
kepada Negara dalam memberantas korupsi. Lebih lanjut, TII menagih janji
kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memimpin langsung
gerakan pemberantasan korupsi dan memastikan instruksinya dijalankan,
serta memobilisasi dukungan lembaga lain, seperti Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, Taufiequrachman (ketua KPK saat itu)
menyatakan, keberhasilan pemberantasan korupsi di negara-negara lain
karena dukungan kepala negaranya. "Presiden Yudhoyono perlu lebih
kenceng memberantas korupsi. Di negara mana pun, keberhasilan
pemberantasan korupsi bergantung pemimpin," katanya seperti dilansir
KOMPAS, 27 September 2007.
Pemberantasan korupsi di Indonesia
memang tidak mengalami kemajuan sejak 2003. Hal itu tercermin dari
relatif rendahnya indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia sejak tahun
itu. Pada tahun 2003 IPK 1.9, tahun 2004 IPK 2.0, tahun 2005 IPK, 2.2,
tahun 2006 2.4, dan 2007 IPK 2.3. Bahkan, sejak 2002 sampai dengan 2007
IPK Indonesia hanya berada di kisaran angka 1,8 sampai dengan 2,3 pada
skala dari 0 sampai dengan 10. Angka 0 adalah skor IPK untuk
mengindikasikan tingkat persepsi terhadap korupsi yang tinggi dan 10
untuk tingkat persepsi yang rendah.
Islam, Good Governance, dan
Gerakan Anti Korupsi. Memang ini bukan tema baru. Namun mengkaitkan
antara ketiga wacana di atas rasanya tema ini masih cukup menjadi bahan
perbincangan yang selanjutnya, semoga, menjadi wacana baru dalam
kehidupan ummat Islam. Pada awal reformasi, di tengah tantangan besar
seperti korupsi yang memengaruhi segala aspek kehidupan manusia,
sayangnya ummat Islam cenderung terjebak dengan persoalan internalnya.
Begitupula
dengan wacana good governance. Padahal kedua wacana tersebut bukanlah
istilah yang baru ditemukan. Menurut Ahmad Fawaid Sjadzili “Fiqh Good
Governance dan Anti-korupsi” korupsi merupakan bentuk penyalahgunaan
wewenang untuk kepentingan pribadi, maka sudah pasti Islam mencelanya.
Dengan demikian, segala tindakan yang secara moral tercela, maka dalam
Islam selalu diidentifikasi dalam kategori dosa yang mendapat siksa bagi
pelakunya. Sebaliknya, segala perbuatan yang secara moral terpuji, maka
dalam Islam selalu diidentifikasi dan dijanjikan pahala bagi pelakunya.
Artinya, segala tindakan yang berdampak positif bagi kemaslahatan
publik merupakan tindakan yang sangat dianjurkan, dan sebaliknya segala
tindakan yang berdampak negatif bagi kemaslahatan publik sangat dicela.
Dalam konteks ini, korupsi merupakan tindakan amoral yang dihujat semua
orang.
Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)
merupakan prasyarat utama dalam pemberantasan korupsi. Tata kelola
pemerintahan yang baik ini setidaknya didasarkan pada tiga prinsip
utama, yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Transparansi
ini diwujudkan dengan memberikan akses yang terbuka ke semua kalangan
dalam setiap prosesnya. Dalam terminologi agama, transparansi ini
disetarakan dengan kejujuran. Kejujuran merupakan pilar penting dalam
terbentuknya tata kelola pemerintahan yang baik. Pilar kedua akuntabel.
Dalam bahasa agama, ini terkait amanat, setia, dan tepat janji
(al-amanah wa al-wafa’ bi al-‘ahdi). Orang yang mengedepankan
transparansi dan jujur dalam tingkah lakunya, biasanya akan mudah
dipercaya, dan dipastikan setia dan tepat janji. Adalah umat manusia
yang ditahbiskan menjadi khalifah di muka bumi ini memiliki tanggung
jawab untuk mengelola kehidupan. Bentuk tanggungjawabnya tentu saja
beragam, dan sangat bergantung dengan peran yang dilakoninya. Sedangkan
pilar ketiga partisipasi. Terminolongi ini dalam bahasa agama dikenal
dengan prinsip at-ta’awun (gotong-royong). Pilar ini penting karena
betapa pun individu-individu telah memegangi sifat jujur,
bertanggungjawab, dan adil, namun tanpa dibarengi dengan semangat kerja
sama dan kooperasi, maka untuk menggapai kebaikan bersama menjadi
demikian sulit.
Ahmad Mahromi dalam makalahnya Melawan Korupsi
dengan Agama: Melampaui Hukum Positif. mencoba mengaitkan peran agama
dalam kehidupan publik ini diawali dengan serangkaian data korupsi dan
penanggulangannya di Indonesia: agama juga mengurusi masalah
kemasyarakatan, termasuk tawaran solusinya.
Dalam perbincangan
mengenai bagaimanakah peran agama seharusnya dalam ruang publik, di
penutup penulis menguraikan tentang dimensi kepublikan dari agama
tersebut, yaitu berusaha menghindari sekularisasi klasik yang menolak
agama, sekaligus juga sedikit meluruskan para Islam garis keras yang
keliru mamahami dimensi publik agama tersebut.
Zuly Qodir
menjelaskan upaya praksis yang dilakukan ummat Islam dalam memberantas
korupsi dalam artikel Gerakan Muhammadiyah-NU Memberantas
Korupsi:Evaluasi dan Refleksi. Tidak sebatas membeberkan upaya-upaya
yang dilakukan dua Ormas Islam terbesar dalam memberantas korupsi, namun
pendidik UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, ini juga mengevaluasi dan
merefleksi gerakan yang sudah dilakukan. Tentunya, dengan harapan agar
gerakan yang dilakukan lebih masif dan efektif. upaya melawan korupsi
(jihad anti korupsi) antara Muhammadiyah dan NU baru dimulai di tahun
2004. Bersatunya Muhammadiyah-NU dalam gerakan pemberantasan korupsi,
yang kemudian mendapatkan dukungan dari elemen-elemen masyarakat di luar
Islam seperti Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu untuk
memberantas korupsi di negeri berpenduduk mayoritas Islam. Tak hanya
masyarakat Indonesia yang berhadap gerakan kedua Ormas Islam tersebut,
namun juga masyarakat internasional.
Menurutnya, gerakan untuk
menyelamatkan bangsa dari keterpurukan ini tidaklah mulus. Tantangan
Gerakan Muhammadiyah-NU dalam memberantas korupsi, tidak berasal dari
faktor eksternal saja, tetapi juga dari internal. Misalnya, sulitnya
melakukan audit internal organisasi atas orang-orang tertentu yang
diduga atau secara desas-desus “memanfaatkan” Ormas untuk kepentingan
pribadinya. Akibatnya, gerakan anti-korupsi kurang bergema dan efektif.
Melihat
tidak masif dan efektinya gerakan yang digagas oleh Ormas Islam
terbesar ini, penulis menibaratkan perang pendekar di goa hantu.
Muhammadiyah-NU gencar melakukan kampanye anti-korupsi, tetapi hal itu
sangat tergantung dengan pendanaan yang diharapkan bisa membantunya.
Jika tidak ada dana yang membantunya, maka kampanye anti-korupsi juga
tidak bisa dikerjakan secara serius dan terus menerus. Menurutnya lagi,
sebenarnya menjadi tantangan utama gerakan anti-korupsi di Indonesia
adalah perang melawan nafsu yang ada pada diri kita sendiri, terdapat
pada institusi di mana kita berasal, agama dimana kita sama-sama
memiliki ikatan emosional-primordial. Untuk itu, sebagai institusi
keislaman, gerakan Muhammadiyah-NU dalam memberantas korupsi sebenarnya
akan efektif bila dimulai dari dalam organisasi. Caranya, pelaku korupsi
diberi hukuman dengan efek jera yang lebih “sadis” agar memberi contoh
pada publik. Sebagaimana kisah Nabi Saw atas Fatimah yang ditanya soal
pencurian, jika Fatimah putriku kata Nabi mencuri maka akan saya potong
tangannya.
Nur Imam Subono, Masyarakat Warga, Demokrasi
Partisipatoris, dan Good Governance: Menuju Representasi Populer,
peneliti DEMOS ini mencoba memaparkan keberadaan dan kiprah Forum Warga
dalam kaitannya partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi yang
saat ini banyak mendapat kritik dan juga keraguan. Pada saat bersamaan,
memberikan penilaian atau tinjauan kritis atas tatakelola pemerintahan
yang diasumsikan sebagai jalan keluar yang pas untuk menyalurkan
aspirasi dan kepentingan masyarakat dengan sifat dari bawah ke atas.
Selain itu, tulisan ini mencoba mencari solusi yang lebih memadai dalam
upaya kita memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia agar lebih
”bermakna” buat masyarakat pada umumnya.
Masalah internal umat
Islam yang saat ini masih melilit tidak bisa menjadi alasan untuk
menutup diri. Di antara problem krusial yang menyebabkan keterbelakangan
umat Islam adalah korupsi. Korupsi mesti diberantas karena inilah
penyakit utama yang mengganjal kemajuan bangsa Islam selama ini:
kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan. Pemberantasan korupsi nampaknya
akan tetap menjadi cerita masa kini, dan korupsi tidak menjadi sejarah,
jika dunia Islam masih mengamanatkan kepada pemimpim yang lemah,
sekalipun dipilih secara demokratis.