Senin, 12 November 2012


500 Tahun Benalu Penjajah di Pohon Sejarah


     Pohon sejarah telah tertanam. Hijau rindangnya dedaunan pohon, tertutup rapat oleh dedaunan benalu. Parasit berkembang dan menumpang, tumbuh subur di sekujur dahan dan ranting, sang pohon merana kurus kering. Benalu penjajahan abadi menetap di inang pohon, sejarah bangsa. Berabad-abad sang pohon bergelut dengan parasit, perjuangan untuk kemerdekaan. Namun benalu enggan melepaskan lilitan. Sudah hukum alam, kehidupan benalu tergantung dari ‘kebaikan budi’ sang inang. Tanpa arus nutrisi inang pohon, bagaimana bisa benalu bertahan? Ke mana lagi benalu  mencari sumber energi?

    Di garis waktu kambium pohon sejarah, kronologi Indonesia tertulis sebagai history-syajarah, gambar hidup negeri agraris gemah ripah dengan kekayaan rempah-rempah. Peradaban dunia mengalir di sungai takdir. Rol serial film dokumenter berputar, goro-goromembuka babad cerita bumi nusantara.

    Kocap kacarita
, abad 15 Eropa keluar dari tiran zaman kegelapan ke alam pencerahan.Renaissance-Humanism menggelora, kemanusiaan dilahirkan kembali. 
Uomo Universale,manusia universal menggelora dalam cita-cita. Sains-teknologi menyibak cakrawala dunia. Gelombang revolusi industri menghempaskan era penjelajahan samudera. Eksodus dalam ekspedisi, eksplorasi dan ekspansi, berkibar di atas bendera tiga misi, Gold-Gospel-Glory.

    Portugal di bawah Admiral Alfonso de Albuquerque tiba di Malaka 1511, benalu pertama menempel di pohon nusantara. Hampir seabad menancapkan koloni dan imperialnya, baru 1595 mengecilkan cengkeramannya, bertahan 380 tahun di Timor Timur sampai 1975 koloni berintegrasi dengan Indonesia, meski akhirnya pada 1999 sang pohon Timor Leste terlepas lagi, berdiri sendiri sebagai negara merdeka.

    Tak lama berselang, Ferdinand Magelhaens membawa armada Spanyol tiba di Sulawesi Utara 1521, benalu ke-2 menancapkan koloninya. Hampir dua abad bercokol, 1692 baru mengakhiri ‘masa iddah’-nya. Benalu ke-3, Perusahaan Dagang Hindia Timur, Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) di bawah pimpinan Cornelis de Houtman tiba di Sunda Kelapa 1602 atas nama niaga. Praktek monopoli perdagangan membuka kolonialisme kompeni-Belanda, penjajahan kemanusiaan dan penindasan diambil alih oleh pemerintahNetherland pada 1816, pohon kemerdekaan nusantara merana 350 tahun lamanya.

     Tak ketinggalan, meski hanya nebeng sebentar menyela meramaikan suasana , benalu ke-4 Inggris, 1814 berkuasa di Bone, Sulawesi, lalu hengkang lagi dalam perjanjian niaga saat kejatuhan Napoleon Bonaparte 1816. Rafflesia menjadi kenangan sejarah untuk mengabadikan nama bunga bangkai temuan ekspedisi Thomas Stamford Raffles 1818.

     Pasca kekalahan Perang Dunia II, Belanda digusur ‘saudara tua’ Jepang 1942, benalu pertama sesama bangsa Asia, sekaligus benalu ke-5 yang pernah ada di pohon sejarah nusantara. Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka, Jepang ‘dipaksa’ pulang ke negerinya, pohon sejarah pertama tertanam di tanah merdeka. Orde pertama pemerintahan negara berdaulat, Sang proklamator Bung Karno mengajak anak bangsa menggeliat penuh semangat menata republik merdeka. 20 tahun berpayah-payah bersimbah darah menjaga tegaknya pohon bangsa dari sisa-sisa benalu lama.

   Belum lagi sempat menikmati ranumnya buah perjuangan panjang, Soeharto tampil ke panggung kekuasaan, orde baru menawarkan jasa ‘penyelamatan’ paceklik rakyat, orde lama menjadi cerita lama dan ‘phobia.’ Harapan bangsa membubung tinggi, toh akhirnya ‘buah maja’ terpaksa ditelan lagi. Pahit, getir, perilaku benalu ternyata masih tersisa di pohon sejarah bangsa. Penjajahan model baru kental muslihat dan rekayasa. 

      Satu generasi kembali merana, tiga dasa warsa berkuasa, akhirnya orde barupun tumbang lewat ‘hukum karma,’ darah, keringat dan air mata. Bangsa kembali merajut mimpi, “Kali ini pohon bangsa pasti akan tumbuh suci.” Orde reformasi menebar ueforia dan samudera janji. Empat presiden bergantian. B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono. Lagi, lagi dan lagi, penjajahan gaya terkini dimulai. Neokolonialisme dan neoimperialisme termodifikasi di era teknologi komunikasi. Atas nama kebebasan berdemokrasi dan berekspresi, benalu edisi terbaru dari sejarah panjang benalu, tumbuh semakin rimbun-tambun dan seiring waktu.

   Alhasil, trio buta-betara-kala mencekik leher bangsa, korupsi, terorisme dan narkoba. Rakyat menggugat, pohon syajarah bangsa nyaris sekarat. Lilitan benalu masih saja membelit kuat, daun-daun tak lagi rimbun, hilang satu persatu seakan dimakan ulat. Semelimpah apapun unsur hara tanah zamrud khatulistiwa, macetnya arus nutrisi membuat malfungsi metabolisme sang pohon, krisis fotosintesa berujung krisis multidimensi. Benalu penjajahan menghisap seluruh cadangan energi bangsa.

      Barangkali negeri ini butuh jeda,,, menghela nafas panjang untuk menimbang-nimbang, “Ada apa dengan pohon kita?” Mungkinkah kitab “Peladjaran Sedjarah” telah salah  di bangku sekolah? Jika begitu, tak ada salahnya pula sesekali mencicipi nikmatnya ber’putus asa-puasa.’ Tembok baja telah digedor-gedor dengan paksa, tangan-tangan berdarah penuh luka gagal membuka. Coba rehat sesaat sesekali saja, duduk bersila, mencari tanya dalam keheningan cipta. Ada kalanya semangat belaka tak cukup mengubah dunia. Masa depan pohon sejarah bangsa telah terbayang suram di kacabenggala.

   Orde-orde lanjutan hanya soal jadwal pergiliran, siklus benalu penjajahan menjadi lingkaran setan. Penjajah-terjajah, penghisap-terhisap, supply-demand, jual-beli, simbiosis abadi, konsekuensi logis hukum aksi-reaksi. Hukum kekekalan energi. Sebagaimana neraka dan setan saling membutuhkan, neraka diciptakan untuk digunakan.

    Tinggal tersisa catatan di Pembukaan UUD ‘45: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan…”  Telah 500 tahun pohon sejarah berdiri, 5 kolonialis berlomba invasi, 3 orde kekuasaan, 6 presiden memimpin pemerintahan,  67 tahun masa kemerdekaan. Sila kedua dan kelima Pancasilapun mulai layak dipertanyakan. Pertanyaan abadi manusia Indonesia, “Di mana gerangan perikemanusiaan dan perikeadilan? Sampai kapan benalu penjajahan akan terlepaskan?”

    Sejatinya kemerdekaan adalah hak setiap jiwa, setiap manusia, setiap makhluk, bernyawa atau tidak bernyawa. Di sisi lain penjajahan, kolonialisme dan imperialisme juga tabiat manusia. Dalam setiap jiwa tertanam benih benalu di dalamnya. Negara menjajah negara, negara menjajah bangsa, bangsa menjajah negara, bangsa menjajah bangsa, manusia menjajah manusia. Dualisme peran manusia dalam satu jiwa, penjajah-terjajah, seperti benalu-pohon sejarah, keduanya selalu berseteru sekaligus saling merindu.

    Sekedar menghibur diri di kala sepi, konon telah tersirat di surat Ronggowarsito dalam Ramalan Jayabaya, barangkali bisa menanti kemunculan satrio piningit, Imam Mahdi, pemimpin ke-7 di negeri ini,“Ratu Adil Sultan Herucakra”, Resi Begawan-Pinandito yangakan membuka gerbang Zaman Renaissance di Indonesia.

    Atau sesaat men-tafakkuri pertanyaan malaikat ketika Tuhan memutuskan manusia sebagai pemimpin bumi, “Adakah Engkau hendak menjadikan seorang pemimpin di bumi, orang yang gemar membuat kerusakan dan pertumpahan darah?” Tuhan menjawab, “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang kalian semua tidak mengetahui.” Tuhan memang gemar berteka-teki dan bermisteri, termasuk pada simbiosis benalu-pohon. Mungkin Dia hendak ‘memaksa’ manusia untuk berpikir, hingga pada akhirnya mengakui bahwa diri-Nya memang benar-benar ada. ***

Salam…
El Jeffry

Tidak ada komentar:

Posting Komentar