Pohon sejarah telah
tertanam. Hijau rindangnya dedaunan pohon, tertutup rapat oleh dedaunan
benalu. Parasit berkembang dan menumpang, tumbuh subur di sekujur dahan dan
ranting, sang pohon merana kurus kering. Benalu penjajahan abadi menetap di
inang pohon, sejarah bangsa. Berabad-abad sang pohon bergelut dengan parasit,
perjuangan untuk kemerdekaan. Namun benalu enggan melepaskan lilitan. Sudah
hukum alam, kehidupan benalu tergantung dari ‘kebaikan budi’ sang inang. Tanpa
arus nutrisi inang pohon, bagaimana bisa benalu bertahan? Ke mana lagi
benalu mencari sumber energi?
Di garis waktu
kambium pohon sejarah, kronologi Indonesia tertulis sebagai history-syajarah, gambar
hidup negeri agraris gemah ripah dengan kekayaan
rempah-rempah. Peradaban dunia mengalir di sungai takdir. Rol serial film
dokumenter berputar, goro-goromembuka babad cerita
bumi nusantara.
Kocap kacarita, abad 15 Eropa keluar dari tiran zaman kegelapan ke alam pencerahan.Renaissance-Humanism menggelora, kemanusiaan dilahirkan kembali. Uomo Universale,manusia universal menggelora dalam cita-cita. Sains-teknologi menyibak cakrawala dunia. Gelombang revolusi industri menghempaskan era penjelajahan samudera. Eksodus dalam ekspedisi, eksplorasi dan ekspansi, berkibar di atas bendera tiga misi, Gold-Gospel-Glory.
Kocap kacarita, abad 15 Eropa keluar dari tiran zaman kegelapan ke alam pencerahan.Renaissance-Humanism menggelora, kemanusiaan dilahirkan kembali. Uomo Universale,manusia universal menggelora dalam cita-cita. Sains-teknologi menyibak cakrawala dunia. Gelombang revolusi industri menghempaskan era penjelajahan samudera. Eksodus dalam ekspedisi, eksplorasi dan ekspansi, berkibar di atas bendera tiga misi, Gold-Gospel-Glory.
Portugal di
bawah Admiral Alfonso de Albuquerque tiba di Malaka 1511, benalu
pertama menempel di pohon nusantara. Hampir seabad menancapkan koloni dan
imperialnya, baru 1595 mengecilkan cengkeramannya, bertahan 380 tahun di Timor
Timur sampai 1975 koloni berintegrasi dengan Indonesia, meski akhirnya pada
1999 sang pohon Timor Leste terlepas lagi, berdiri sendiri sebagai negara
merdeka.
Tak lama
berselang, Ferdinand Magelhaens membawa armada Spanyol tiba di Sulawesi Utara 1521, benalu ke-2
menancapkan koloninya. Hampir dua abad bercokol, 1692 baru mengakhiri ‘masa iddah’-nya.
Benalu ke-3, Perusahaan Dagang Hindia Timur, Verenigde
Oostindische Compagnie (VOC) di bawah pimpinan Cornelis de Houtman
tiba di Sunda Kelapa 1602 atas nama niaga. Praktek monopoli perdagangan membuka
kolonialisme kompeni-Belanda, penjajahan kemanusiaan dan penindasan diambil
alih oleh pemerintahNetherland pada 1816, pohon kemerdekaan
nusantara merana 350 tahun lamanya.
Tak ketinggalan,
meski hanya nebeng sebentar menyela meramaikan suasana ,
benalu ke-4 Inggris, 1814 berkuasa di Bone, Sulawesi, lalu hengkang lagi
dalam perjanjian niaga saat kejatuhan Napoleon Bonaparte 1816. Rafflesia menjadi
kenangan sejarah untuk mengabadikan nama bunga bangkai temuan ekspedisi Thomas
Stamford Raffles 1818.
Pasca kekalahan
Perang Dunia II, Belanda digusur ‘saudara tua’ Jepang 1942, benalu pertama
sesama bangsa Asia, sekaligus benalu ke-5 yang pernah ada di pohon sejarah
nusantara. Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka, Jepang
‘dipaksa’ pulang ke negerinya, pohon sejarah pertama tertanam di tanah merdeka.
Orde pertama pemerintahan negara berdaulat, Sang proklamator Bung Karno
mengajak anak bangsa menggeliat penuh semangat menata republik merdeka. 20
tahun berpayah-payah bersimbah darah menjaga tegaknya pohon bangsa dari
sisa-sisa benalu lama.
Belum lagi sempat
menikmati ranumnya buah perjuangan panjang, Soeharto tampil ke panggung
kekuasaan, orde baru menawarkan jasa ‘penyelamatan’ paceklik rakyat, orde lama
menjadi cerita lama dan ‘phobia.’ Harapan bangsa membubung tinggi, toh
akhirnya ‘buah maja’ terpaksa ditelan lagi. Pahit, getir, perilaku benalu
ternyata masih tersisa di pohon sejarah bangsa. Penjajahan model baru kental muslihat
dan rekayasa.
Satu generasi kembali
merana, tiga dasa warsa berkuasa, akhirnya orde barupun tumbang lewat ‘hukum
karma,’ darah, keringat dan air mata. Bangsa kembali merajut mimpi, “Kali
ini pohon bangsa pasti akan tumbuh suci.” Orde reformasi menebar ueforia dan
samudera janji. Empat presiden bergantian. B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid,
Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono. Lagi, lagi dan lagi,
penjajahan gaya terkini dimulai. Neokolonialisme dan neoimperialisme termodifikasi
di era teknologi komunikasi. Atas nama kebebasan berdemokrasi dan berekspresi,
benalu edisi terbaru dari sejarah panjang benalu, tumbuh semakin rimbun-tambun
dan seiring waktu.
Alhasil, trio buta-betara-kala mencekik
leher bangsa, korupsi, terorisme dan narkoba. Rakyat menggugat, pohon syajarah bangsa
nyaris sekarat. Lilitan benalu masih saja membelit kuat, daun-daun tak lagi
rimbun, hilang satu persatu seakan dimakan ulat. Semelimpah apapun unsur hara
tanah zamrud khatulistiwa, macetnya arus nutrisi membuat malfungsi metabolisme
sang pohon, krisis fotosintesa berujung krisis multidimensi. Benalu penjajahan
menghisap seluruh cadangan energi bangsa.
Barangkali negeri ini
butuh jeda,,, menghela nafas panjang untuk menimbang-nimbang, “Ada apa dengan
pohon kita?” Mungkinkah kitab “Peladjaran Sedjarah” telah salah
di bangku sekolah? Jika begitu, tak ada salahnya pula sesekali mencicipi
nikmatnya ber’putus asa-puasa.’ Tembok baja telah digedor-gedor dengan paksa,
tangan-tangan berdarah penuh luka gagal membuka. Coba rehat sesaat sesekali
saja, duduk bersila, mencari tanya dalam keheningan cipta. Ada kalanya semangat
belaka tak cukup mengubah dunia. Masa depan pohon sejarah bangsa telah
terbayang suram di kacabenggala.
Orde-orde lanjutan
hanya soal jadwal pergiliran, siklus benalu penjajahan menjadi lingkaran setan.
Penjajah-terjajah, penghisap-terhisap, supply-demand, jual-beli,
simbiosis abadi, konsekuensi logis hukum aksi-reaksi. Hukum kekekalan energi.
Sebagaimana neraka dan setan saling membutuhkan, neraka diciptakan untuk
digunakan.
Tinggal tersisa catatan di Pembukaan UUD ‘45: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan…” Telah 500 tahun pohon sejarah berdiri, 5 kolonialis berlomba invasi, 3 orde kekuasaan, 6 presiden memimpin pemerintahan, 67 tahun masa kemerdekaan. Sila kedua dan kelima Pancasilapun mulai layak dipertanyakan. Pertanyaan abadi manusia Indonesia, “Di mana gerangan perikemanusiaan dan perikeadilan? Sampai kapan benalu penjajahan akan terlepaskan?”
Sejatinya kemerdekaan
adalah hak setiap jiwa, setiap manusia, setiap makhluk, bernyawa atau tidak
bernyawa. Di sisi lain penjajahan, kolonialisme dan imperialisme juga tabiat
manusia. Dalam setiap jiwa tertanam benih benalu di dalamnya. Negara menjajah
negara, negara menjajah bangsa, bangsa menjajah negara, bangsa menjajah bangsa,
manusia menjajah manusia. Dualisme peran manusia dalam satu jiwa,
penjajah-terjajah, seperti benalu-pohon sejarah, keduanya selalu berseteru
sekaligus saling merindu.
Sekedar menghibur
diri di kala sepi, konon telah tersirat di surat Ronggowarsito dalam Ramalan
Jayabaya, barangkali bisa menanti kemunculan satrio piningit, Imam Mahdi,
pemimpin ke-7 di negeri ini,“Ratu Adil Sultan Herucakra”, Resi
Begawan-Pinandito yangakan membuka gerbang Zaman Renaissance di
Indonesia.
Atau sesaat men-tafakkuri pertanyaan
malaikat ketika Tuhan memutuskan manusia sebagai pemimpin bumi, “Adakah
Engkau hendak menjadikan seorang pemimpin di bumi, orang yang gemar membuat
kerusakan dan pertumpahan darah?” Tuhan menjawab, “Sesungguhnya Aku
lebih mengetahui apa yang kalian semua tidak mengetahui.” Tuhan memang
gemar berteka-teki dan bermisteri, termasuk pada simbiosis benalu-pohon.
Mungkin Dia hendak ‘memaksa’ manusia untuk berpikir, hingga pada akhirnya
mengakui bahwa diri-Nya memang benar-benar ada. ***
Salam…
El Jeffry
El Jeffry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar